ONLINENASIONAL.COM, JAKARTA - Mantan Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan penetapan mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula telah memenuhi dua unsur pidana.
Unsur pertama, yakni soal aliran dana. Menurut Mahfud, delik korupsi dalam undang-undang tidak cuma soal aliran dana, namun tercantum tentang memperkaya diri atau orang lain. Dari situ kemudian, dapat dicari tau apakah kebijakan Tom memberika keuntungan kepada pihak lain.
"Untuk kasusnya sendiri yang masyarakat mengatakan itu Tom Lembong tidak ada korupsi karena tidak ada aliran dana untuk yang masuk. Itu tidak bisa karena di dalam hukum, korupsi bukan hanya adanya aliran dana, rumusnya memperkaya diri atau orang lain," kata Mahfud, ujar Mahfud kepada awak media di Menara Bidakara 1, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2024).
Untuk diketahui, berdasarkan penjelasaan Kejaksaan Agung, akibat kebijakan importasi gula yang dikeluarkan Tom Lembong telah merugikan negara sebesar Rp400 miliar.
Mahfud menjelaskan, dalam Pasal 2 UU Tipikor berlaku untuk setiap orang, termasuk pihak swasta, yang melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Serta, dalam Pasal 3 UU Tipikor, berlaku untuk setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
"Rumusnya memperkaya diri atau memperkaya orang lain, termasuk perusahaan -perusahaan yang diberi lisensi, kalau itu dapat keuntungan secara tidak wajar korupsi unsur pertama terpenuhi," kata Mahfud.
Sementara unsur kedua, dikatakan Mahfud yakni soal dugaan Tom Lembong menabrak aturan dalam proses impor gula di Kemendag.
"Unsur kedua dengan cara melanggar hukum, melanggar aturan yang sudah ditentukan dan tentu lalu dihitung ke kerugian negara atas ini semua," kata Mahfud
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait impor gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016. Dia menjadi tersangka bersama dengan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia Charles Sitorus, pada Selasa (29/10/2024) malam.
Penetapan tersangka ini, merupakan hasil penyelidikan yang dinaikan ke tahap penyidikan, menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dalam proses importasi gula kristal mentah yang dilakukan selama Lembong menjabat.
Berikut rekam jejak Thom Lembong dalam korupsi impor gula, sebagaimana diungkapkan a Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar melalui keterangannya kepada wartawan, Rabu (30/10/2024).
Jejak Impor Gula Tom Lembong
Pada tahun 2015 berdasarkan Rapat Koordinasi (Rakor) antar Kementerian tanggal 12 Mei 2015, telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula. Namun, Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan saat itu tetap mengeluarkan izin Persetujuan Impor (PI) untuk 105.000 ton Gula Kristal Mentah (GKM) kepada PT Angel Product (PT AP), untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP).
Harli mengatakan, saat itu Tom Lembong telah menabrak aturan dalam keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, di mana yang diperbolehkan impor GKP adalah BUMN.
"Tetapi berdasarkan Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Tersangka TTL dilakukan oleh PT AP dan Impor GKM tersebut tidak melalui Rakor dengan instansi terkait, serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri," kata Harli.
Kemudian, pada tanggal 28 Desember 2015, Rakor Bidang Perekonomian menyimpulkan bahwa stok gula nasional diperkirakan mengalami defisit pada 2016 sebesar 200.000 ton. Atas dasar ini, pada Januari 2016, Thom Lembong mengeluarkan Surat Penugasan untuk PT PPI guna mengimpor 300.000 ton GKM dengan tujuan menstabilkan harga dan memenuhi stok gula.
Atas arahan Charles, PT PPI kemudian menjalin pertemuan dengan delapan perusahaan swasta pengolah gula, yaitu, PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU), PT Andalan Furnindo (AF), PT Angel Product (AP), PT Makassar Tene, PT Berkah Manis Makmur (BMM), PT Sentra Usahatama Jaya (SUJ), PT Duta Segar Internasional (DSI), dan PT Medan Sugar Industri (MSI) di Gedung Equity Tower SCBD sebanyak empat kali.
Kemudian, pada bulan Januari 2016, Tersangka Thomas Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI dengan Surat Nomor 51 tanggal 12 Januari 2016, yang berisi penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula, melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300.000 ton.
Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT Kebun Tebu Mas (KTM), meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI).
Atas sepengetahuan dan persetujuan Tom Lembong, dokumen Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung.
Selain itu, persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Kedelapan perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi. Setelah kedelapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut.
Dalam skema ini, gula yang telah diolah oleh perusahaan swasta kemudian dijual ke pasar melalui distributor dengan harga Rp16.000 per kilogram, yang lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) senilai Rp13.000 per kilogram. Ironisnya, gula tersebut tidak dijual melalui operasi pasar. PT PPI pun mendapat fee dari setiap kilogram gula yang diolah perusahaan swasta, senilai Rp105.
"Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai Rp400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara/BUMN (PT PPI)," ungkap Harli.
Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.***