ONLINENASIONAL.COM, JAKARTA - Serangan teroris menargetkan pangkalan militer dan kapal penumpang di sungai Inger di Mali utara, terjadi pada Kamis (8/92023). Menurut pejabat Mali, aksi ini menewaskan 64 orang.
Pemerintah Mali menyebut korban tewas terdiri dari 49 warga sipil dan 15 tentara tewas dibunuh oleh militan yang menyerang kamp militer dan kapal di timur laut Mali. Dilansir ABC News, jumlah korban tewas diperkirakan akan meningkat serta lebih banyak lagi yang mengalami luka.
Dikatakan bahwa serangan di Mali tersebut didalangi oleh kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaeda. Kelompok Dukungan untuk Islam dan Muslim (GSIM), bulan lalu mengumumkan bahwa mereka memblokade Timbuktu, kota persimpangan bersejarah di Mali utara.
Para pemberontak menyerang sebuah perahu yang membawa warga sipil menyeberangi Sungai Niger. Sungai yang sedang banjir itu memisahkan Kota Gao dan Mopti selama musim hujan.
Kapal itu sedang melakukan perjalanan dari Gao ketika diserang pada Kamis (7/9/2023) waktu setempat.
Pemberontak menyerang sebuah perahu yang membawa warga sipil melintasi Sungai Niger dan sebuah kamp militer di Lingkaran Bourem.
Kedua desa tersebut berada di sebelah timur Timbuktu, sebuah kota yang telah diblokade oleh kelompok bersenjata sejak akhir Agustus, ketika tentara Mali mengerahkan bala bantuan ke wilayah tersebut.
Para pemberontak mencegah Timbuktu mendapatkan pasokan barang-barang kebutuhan pokok.Lebih dari 30 ribu penduduk telah meninggalkan kota dan daerah sekitarnya, menurut laporan badan kemanusiaan PBB pada bulan Agustus.
Mali adalah salah satu dari beberapa negara Afrika Barat yang memerangi pemberontakan dengan kekerasan yang terkait dengan al-Qaeda dan ISIS.
Para pemberontak mulai menguasai wilayah utara Mali yang gersang pada tahun 2012. Militan telah menguasai wilayah, menyebar ke seluruh Sahel dan ke negara-negara pesisir Afrika Barat.
Frustrasi terhadap meningkatnya ketidakamanan mendorong dua kudeta militer di Mali dan dua di Burkina Faso sejak tahun 2020.Empat dari delapan kudeta yang melanda Afrika Barat dan Tengah selama tiga tahun terakhir.
Ada dukungan rakyat yang sangat besar terhadap junta ketika mereka merebut kekuasaan setelah protes massal terhadap kepemimpinan Presiden Ibrahim Boubacar Keita. Masyarakat marah karena ketidakpastian ekonomi, sengketa pemilu, dan ketidakamanan kronis.
Sejak itu, data menunjukkan pemerintahan militer Mali hanya mencapai sedikit kemajuan dalam perlawanannya terhadap kelompok pemberontak yang menguasai sebagian wilayah negara tersebut.***
(sumber : westjavatoday.com)