Notification

×

Iklan

Iklan

Inflasi Terbang Gila-gilaan, Warga +62 Harus Apa?

Saturday 16 July 2022 | July 16, 2022 WIB Last Updated 2022-07-16T02:12:07Z

ONLINENASIONAL.COM, JAKARTA - Inflasi sejumlah negara terus melonjak beberapa bulan terakhir, tanpa terkecuali Indonesia. Maklum, harga pangan dan energi melonjak tak karuan.


Perang Rusia-Ukraina membuat rantai pasok terganggu, sehingga pasokan berkurang dan harga melejit.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi Indonesia tembus 4,35 persen secara tahunan (year on year/yoy) dan 0,61 persen secara bulanan (month to month/mtm) per Juni 2022.

Jika dilihat secara tahunan, realisasi inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak 2017 lalu. Saat itu, inflasi RI tembus 4,37 persen.

Sementara, inflasi di Amerika Serikat (AS) tembus 9,1 persen pada Juni 2022. Tingkat inflasi AS itu melampaui ekspektasi para ekonom dan tercatat menjadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Untuk menekan laju inflasi, sejumlah bank sentral telah mengerek suku bunga acuan. The Fed salah satunya.

Bank sentral AS telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang semester II 2022. Kini, bunga acuan The Fed berada di kisaran 1,5 persen-1,75 persen.

Namun, Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan di level 3,5 persen saat ini. Deputi Gubernur BI Juda Agung mengatakan pihaknya akan mengerek suku bunga acuan jika inflasi inti meningkat.

Meski bunga acuan BI masih aman, masyarakat sebaiknya bersiap dengan kondisi terburuk. Sebab, belum ada tanda-tanda masalah inflasi akan selesai dalam waktu dekat.

Hal itu berarti harga sejumlah barang berpotensi semakin mahal. Kalau tak pintar menata keuangan, arus kas akan berantakan dan bisa-bisa pengeluaran jauh lebih besar daripada pendapatan.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar dompet tetap sehat di tengah lonjakan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga?

1. Evaluasi Pengeluaran
Perencana Keuangan OneShildt Consulting Budi Raharjo mengatakan masyarakat harus menghitung lagi total pengeluaran dalam sebulan.

Setelah itu, masyarakat harus kembali menentukan skala prioritas dalam menggunakan uang setiap bulan.

"Atur lagi pengeluaran berdasarkan prioritas, buat lagi skala prioritas," ungkap Budi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/7).

Jika ada skala prioritas, masyarakat akan belajar untuk lebih disiplin dalam menggunakan uang. Dengan begitu, pengeluaran bisa ditekan.

2. Skenario Terburuk
Budi mengatakan masyarakat juga harus memikirkan skenario terburuk. Sebab, dunia sedang tidak baik-baik saja.

Bank Dunia (World Bank) telah mengingatkan sejumlah negara rentan resesi. Sementara, survei Bloomberg menunjukkan risiko resesi di Indonesia sebesar 3 persen.

Dengan kata lain, Indonesia masuk daftar negara yang berpotensi tumbang. Alarm yang sudah dibunyikan oleh beberapa lembaga internasional itu tentu tak bisa dianggap enteng.

Masalahnya, tak semua industri atau perusahaan bisa bertahan dalam situasi seperti ini. Bisa saja beberapa perusahaan melakukan efisiensi dengan memotong gaji atau memangkas jumlah karyawan.

"Misalnya ada gangguan penghasilan, penurunan gaji, maka hitung bisa seberapa lama bertahan terhadap penurunan penghasilan itu," ujar Budi.

Hal itu penting dilakukan agar masyarakat memiliki persiapan matang jika kondisi terburuk benar-benar terjadi.

3. Dana Darurat
Budi menjelaskan masyarakat juga harus mengecek kesehatan keuangan dengan melihat dana darurat. Sebab, hanya dana darurat yang bisa menopang seseorang melanjutkan hidup jika hal terburuk terjadi.

"Misalnya tadi penghasilan turun, bisa gunakan dana darurat dulu. Tapi kan bukan solusi selamanya. Dana darurat hanya bisa dipakai sebagai alat beradaptasi jika tiba-tiba situasi berubah," kata Budi.

Sementara, Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Andry Nugroho mengatakan seseorang idealnya memiliki dana darurat sebesar tiga kali dari pengeluaran per bulan. Namun, itu hanya berlaku bagi masyarakat yang belum berkeluarga.

Jika sudah menikah, maka harus memiliki dana darurat minimal enam kali dari pengeluaran.

"Karena dana darurat ini cukup susah untuk dikumpulkan tiga kali dari pengeluaran untuk yang belum menikah dan enam kali kalau sudah berkeluarga maka bisa mengurangi jalan-jalan dan me time, alokasikan untuk dana darurat," jelas Andy.

Menurut dia, masyarakat bisa mengalokasikan 10 persen gaji untuk mengumpulkan dana darurat setiap bulan. Kemudian, 10 persen untuk kebutuhan senang-senang.

"55 persen bisa untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk makan, minum, bayar tagihan, bayar utang, bayar asuransi, transportasi," ujar Andy.

Kemudian, 10 persen dari gaji bisa digunakan untuk tabungan dan investasi, 10 persen untuk hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas diri seperti les bahasa, dan sisanya 5 persen untuk sedekah.

4. Manajemen Utang
Lebih lanjut Andy mengatakan masyarakat harus menghitung ulang kembali berapa total cicilan yang masih berjalan dalam jangka panjang, khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Sebab, jika BI menaikkan suku bunga acuan, otomatis bunga kredit juga semakin tinggi. Bagi nasabah KPR yang sudah memasuki masa floating tentu akan ketar-ketir.

Jadi, masyarakat bisa menghitung berapa cicilan per bulan dan rincian suku bunga yang ditetapkan perbankan di masa floating. Pasalnya, bunga floating akan berubah secara berkala.

"Kalau bunga tinggi, alternatifnya bisa pindah bank KPR. Beberapa bank pasti ada promo. Itu bisa tapi repot, tapi silakan saja," kata Andy.

Opsi lain, masyarakat bisa melakukan negosiasi dengan pihak bank dan meminta keringanan. Dengan demikian, beban bulanan bisa lebih ringan.

"Negosiasi dengan pihak bank bahwa mungkin ada kendala apa, itu bisa," imbuh Andy.

5. Kurangi Jajan dan Jalan-jalan
Andy mengingatkan masyarakat untuk mengurangi pengeluaran konsumtif. Salah satunya jajan.

"Jajan bisa ditunda dulu untuk menambah alokasi dana darurat," ucap Andy.

Andy mengatakan masyarakat juga bisa mengurangi alokasi untuk jalan-jalan. Lagi-lagi, lebih baik dana itu dialihkan ke pos dana darurat.

"Daripada digunakan untuk piknik, travelling, tapi tiba-tiba ada krisis maka akan sayang sekali. Ngerem lagi lah konsumsi bahan-bahan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan," jelas Andy.

6. Investasi
Ekonomi global dan domestik memang sedang 'batuk pilek', tapi bukan berarti tak boleh berinvestasi dan hanya bisa menaruh uang di bawah bantal.

Menurut Andy, masyarakat hanya perlu lebih rajin memantau pergerakan portofolio investasi yang dimiliki. Jika memang turun terus hingga melewati batas yang ditentukan, maka sebaiknya dialihkan ke instrumen berisiko rendah. "Misalnya deposito, obligasi. Tapi saya memilih obligasi karena bunga lebih besar daripada deposito," tutur Andy.

Di sisi lain, Budi mengatakan masyarakat bisa memanfaatkan tren pelemahan sejumlah investasi, seperti saham. Ketika harga saham turun, masyarakat justru punya kesempatan untuk membeli dengan harga murah.

"Bisa ambil peluang-peluang itu. Tak perlu harus sekaligus belinya, tapi cari momentum secara berkala," terang Budi.

Namun, ia mengingatkan masyarakat jangan asal dalam berinvestasi. Masyarakat juga harus mengecek bagaimana fundamental dari masing-masing instrumen investasi.

7. Tambahan Pemasukan

Budi mengatakan masyarakat bisa mencari tambahan pemasukan di tengah lonjakan harga sejumlah barang dan ancaman kenaikan bunga acuan BI.

Terlebih, jika gaji semakin mepet tetapi pengeluaran tak bisa ditekan banyak. Hal ini, kata Budi, biasanya terjadi pada mereka yang sudah berkeluarga.

Maklum, pengeluaran masyarakat yang sudah menikah tentu jauh lebih besar dibandingkan mereka yang masih sendiri alias single.

"Ada tanggungan anak, anak harus sekolah, mungkin juga ada tanggungan orang tua," katanya.

Jadi, ketika pengeluaran sudah tak bisa ditekan atau hanya dapat dikurangi sedikit, mau tak mau harus mencari tambahan penghasilan.

"Kalau pengeluaran sudah sangat sederhana tapi masih mepet karena harga-harga naik, kalau itu situasinya bukan lagi harus menurunkan pengeluaran, tapi tambah pemasukan," pungkas Budi.  

Sumber : CNN Indonesia



×
Berita Terbaru Update