JAKARTA, ONLINENASIONAL.COM - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir melaporkan adanya dugaan korupsi dalam proyek blast furnace atau peleburan tanur tinggi milik PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Laporan itu telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung (kejagung) beberapa waktu lalu.
Kabar tersebut disampaikan Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim kepada Komisi VII DPR RI saat sesi rapat dengar pendapat (RDP), Senin (14/2/2022).
"Arahan Menteri BUMN (Erick Thohir) juga untuk melihat apa penyebabnya dari sudut pandang hukum. Sehingga Kementerian BUMN melibatkan gedung bundar (Kejaksaan Agung)," ujar Silmy.
Menurutnya, Erick Thohir meminta agar manajemen KRAS mengajukan informasi atau hal-hal yang dinilai memudahkan penyelidikan kejagung untuk melihat perkata proyek blast furnace dari aspek hukum.
Pasalnya, operasional blast furnace sudah dihentikan sejak 5 Desember 2019 lalu akibat ditemukan sejumlah masalah.
Salah satu alasan penghentian, karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya tercatat tinggi.
Tak hanya itu, proyek itu pun sudah menyedot keuangan KRAS dengan nominal besar.
"Kami selaku pimpinan di Krakatau Steel mempersiapkan dengan sebaik mungkin informasi atau hal-hal yang dibutuhkan kejagung dalam proses penegakan hukum. Melihat potensi hal-hal yang bisa dilihat ada penyimpangan dari sisi hukum," ungkapnya.
Saat ini, kejagung tengah memproses laporan yang diajukan Erick Thohir.
Kabar terakhir, Silmy memberitahu, ada temuan yang diperoleh pihak penegakkan hukum. Hanya saja dia belum membeberkan hasil temuan tersebut.
"Saat ini sedang berlangsung, dan kabar yang kami terima akan ada kesimpulan dan langkah lanjut daripada yang didapatkan kejagung," katanya.
Proyek blast furnace sejak 2011 disebut sebagai proyek yang serba salah. Sebab bagaimanapun, proyek ini akan merugikan perusahaan senilai Rp1,3 triliun setiap tahunnya.
Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta dolar AS atau setara Rp10 triliun.
Angka ini mengalami pembengkakan Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas menyampaikan permasalahan tersebut sudah disampaikan ke Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN untuk di ambil jalan keluarnya.***