Jakarta - Pemerintah diminta tidak lengah atas turunnya perkiraan realisasi defisit APBN karena meski lebih kecil dari yang diperkirakan, jumlahnya tetap besar dan sangat berpotensi meningkatkan utang negara ke tingkat yang semakin tinggi.
"Meskipun diperkirakan berkurang, defisit sebesar 939,9 triliun tetap merupakan angka yang fantastis. Maka yang menjadi perhatian adalah dari mana dana untuk menutup defisit itu didapatkan kalau tidak dengan meningkatkan utang negara. Padahal, utang kita per Mei 2021 sudah mencapai 6.418 triliun rupiah. Kalau kita utang lagi untuk menutup defisit, utang kita bisa menembus angka tujuh triliun rupiah. Secara psikologis, ini angka yang cukup dramatis, lebih dari 2,5 tahun APBN kita," kata Pengamat Kebijakan Publik Universitas Brawijaya (UB), Andy Fefta Wijaya, Senin (12/7).
Agar defisit tidak terlalu lebar dan negara tidak semakin terbebani dengan utang baru, Andy menyarankan pemerintah agar selalu efisien dalam menggunakan anggaran.
Pemerintah harus bisa menekan defisit lebih kecil lagi dari jumlah 939,6 triliun rupiah kalau mau merasionalisasi ulang rencana pengeluaran yang tidak terlalu urgent.
"Harus full attention ke upaya penanggulangan gelombang kedua pandemi. Ini bisa dilakukan dengan memangkas belanja-belanja yang belum terlalu mendesak di kementerian-kementerian. Membelanjakan dana secara lebih tepat sasaran dan tepat guna. Fokus saja pada pemulihan kesehatan dan ekonomi masyarakat, aspek-aspek yang lain tetap dialokasikan, namun pada besaran yang terbatas dan terkendali," pungkas dia.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Bandan Anggaran DPR RI di Jakarta, Senin (12/7), Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memperkirakan realisasi defisit APBN tahun ini hanya akan mencapai 939,6 triliun rupiah atau lebih kecil 66,8 triliun rupiah dibandingkan pagu yang telah ditetapkan yakni 1.006,4 triliun rupiah.
"Ini adalah sesuatu yang bagus. Artinya, APBN bisa tetap responsif membantu rakyat, merespons dunia usaha dan menangani Covid-19," kata Sri Mulyani.
Menurut Menkeu, perkiraan ini menunjukkan bahwa APBN mampu merespons dampak pandemi terhadap masyarakat dan dunia usaha, namun defisit tetap dapat terjaga secara hati-hati.
"Sehingga konsolidasi fiskal tetap berjalan, namun tidak berarti kita tidak bisa bantu ekonomi masyarakat dan penanganan Covid-19 yang efektif," ujarnya.
Meski defisit secara nominal alami penurunan, namun secara persentase defisit diproyeksi akan tetap sama di level 5,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab presentase defisit sangat bergantung pada realisasi pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun.
Menkeu memastikan akan tetap membantu ekonomi masyarakat dan membantu penanganan Covid-19 yang efektif disertai dengan upaya melakukan konsolidasi fiskal di tahun mendatang.
"Nominal defisit rendah ini bagus. Artinya, APBN tetap bisa responsif bantu rakyat, merespons dunia usaha dan tangani Covid-19. Namun, kita tetap bisa mengurangi dan menangani defisit dalam tingkat yang semakin hati-hati," kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan perkiraan defisit yang lebih kecil 66,8 triliun rupiah dari pagu terjadi karena pendapatan negara tahun ini diproyeksikan mencapai 1.760,7 triliun rupiah atau 101 persen dari target APBN 2021 sebesar 1.743,6 triliun rupiah.
Proyeksi pendapatan negara dilakukan berdasarkan penerimaan pajak diperkirakan akan mencapai 95,7 persen dari target 1.229,6 triliun rupiah atau tumbuh 9,7 persen. Kemudian, penerimaan kepabeanan dan cukai diperkirakan mencapai 104,3 persen dari target 215 triliun rupiah atau tumbuh 5,2 persen serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diperkirakan mencapai 119,9 persen dari target 298,2 triliun rupiah atau tumbuh 4 persen.
Sementara itu, belanja negara diperkirakan akan terserap 2.700 triliun rupiah atau 98,2 persen dari target APBN 2021 sebesar 2.750 triliun rupiah. Belanja negara mencapai 2.700 triliun rupiah akan terserap melalui belanja pemerintah pusat yang diperkirakan mencapai 98,2 persen dari pagu 1.954,5 triliun rupiah yaitu 1.929,6 triliun rupiah atau tumbuh 5,3 persen.
Selanjutnya, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) tahun ini realisasinya diperkirakan mencapai 770 triliun rupiah atau 96,9 persen dari target 795 triliun rupiah atau tumbuh 1,1 persen.
Sedangkan Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, melihat masih banyak program pemerintah bukan untuk penanganan pandemi yang serius dan yang bukan seharusnya menjadi prioritas.
Buktinya, realisasi dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) untuk sektor kesehatan melambat dibanding klaster lainnya. Demikian juga untuk vaksinasi sempat menurun.
Ketika ditanya opsi kebijakan untuk mempersempit jurang defisit, Esther yang juga Direktur Program Indef itu berpandangan bahwa defisit tidak mungkin dipersempit ke depan selama pandemi belum berakhir.
"Opsi kebijakan pemerintah, pemerintah harus serius untuk menangani pandemi ini. Selama pandemi belum berakhir, perekonomian akan tetap bleeding," pungkas dia.***